Upaya kedua dilakukan pada tahun 1699 dengan mendatangkan stek pohon kopi dari Malabar. Pada tahun 1706 sampel kopi yang dihasilkan dari tanaman di Jawa dikirim ke negeri Belanda untuk diteliti di Kebun Raya Amsterdam. Hasilnya sukses besar, kopi yang dihasilkan memiliki kualitas yang sangat baik. Selanjutnya tanaman kopi ini dijadikan bibit bagi seluruh perkebunan yang dikembangkan di Indonesia. Belanda pun memperluas areal budidaya kopi ke Sumatera, Sulawesi, Bali, Timor dan pulau-pulau lainnya di Indonesia.
Pada tahun 1878 terjadi tragedi yang memilukan. Hampir seluruh perkebunan kopi yang ada di Indonesia terutama di dataran rendah rusak terserang penyakit karat daun atau Hemileia vastatrix (HV). Kala itu semua tanaman kopi yang ada di Indonesia merupakan jenis Arabika(Coffea arabica). Untuk menanggulanginya, Belanda mendatangkan spesies kopi liberika (Coffea liberica) yang diperkirakan lebih tahan terhadap penyakit karat daun.
Sampai beberapa tahun lamanya, kopi liberika menggantikan kopi arabika di perkebunan dataran rendah. Di pasar Eropa kopi liberika saat itu dihargai sama dengan arabika. Namun rupanya tanaman kopi liberika juga mengalami hal yang sama, rusak terserang karat daun. Kemudian pada tahun 1907 Belanda mendatangkan spesies lain yakni kopi robusta (Coffea canephora). Usaha kali ini berhasil, hingga saat ini perkebunan-perkebunan kopi robusta yang ada di dataran rendah bisa bertahan.
Pasca kemerdekaan Indonesia tahun 1945, seluruh perkebunan kopi Belanda yang ada di Indonesia di nasionalisasi. Sejak itu Belanda tidak lagi menjadi pemasok kopi dunia.